Pemberian
Hukuman sebagai Efek Jera dalam Upaya Memberantas Korupsi di Indonesia
Mata Kuliah :
Sosio-antro Pendidikan
Nama: Bayu Sukarno
Putro
NIM: 12601241019
Prodi/ Kelas: PJKR/
A_2012
E-mail:
bayu_anis@yahoo.co.id
Telp: 085229184646
Abstrak
Korupsi,
sebuah penyakit masyarakat yang kini telah menyebarluas bahkan telah menjadi
budaya. Sebagai sebuah budaya, korupsi ini adalah sebuah budaya yang sangat
buruk dan hanya memberikan dampak negatif saja bagi orang banyak, terlebih bagi
rakyat. Korupsi hanya memberi keuntungan pribadi bagi pihak yang melakukannya
saja berupa materi, dan hanya memberikan kerugian banyak bagi negara dan juga
rakyat. Intinya bahwa korupsi adalah tindakan menyimpang dengan cara
menyalahgunakan kekuasaan. Di negeri ini, korupsi sudah sangat parah, hampir
semua sektor publik terdapat kasus korupsi yang berpotensi menghancurkan
perekonomian negara ini.
Korupsi
adalah sebuah kejahatan yang harus segera diberantas agar tidak semakin
merajalela dan menghancurkan negeri ini. Dengan diberantasnya korupsi maka
pembangunan di negeri ini akan lebih lancar. Pemberantasan korupsi harus
dilakukan sampai tuntas dan salah satunya adalah dengan menegakkan hukum,
memberikan hukuman yang seberat-beratnya bagi para pelakunya sehingga akan
menimbulakan efek jera sehingga negara ini benar-benar bersih dari kasus
korupsi.
Kata
kunci :berantas, hukuman, kasus, korupsi.
A.
Pendahuluan
“Hal
yang paling merisaukan saya lebih dari apapun juga adalah soal kemerosotan
akhlak di negeri kami. Ada masalah suap, korupsi, kurangnya ketaatan akan
tugas, ketidakjujuran, dan segala cacat semacam itu” kata presiden Nigeria
Shehu Shagari pada tahun 1982. Hal yang sama juga dikatakan oleh seorang dosen
universitas di Yogyakarta pada dalam sebuah seminar, bahwa korupsi di Indonesia
sudah membudaya. Kedua pernyataan tersebut memang benar adanya dan dan
terbukti, kini di Indonesia label korupsi tidak semata-mata diperuntukkan bagi
para pejabat pemerintahan di negeri ini. Namun juga sudah menjamur di lingkup
TNI, Polri, pegawai negri, konglomerat, bahkan organisasi olahraga dan banyak
masih banyak lagi. Itulah sebabnya muncul paham bahwa korupsi di Indonesia
sudah menjadi budaya, seakan-akan korupsi itu adalah hal yang biasa karena
nyaris terjadi di semua sektor dan lapisan masyarakat.
Korupsi
adalah penyakit yang terus berjangkit dan tentunya harus segera ditangkal.
Pemerintah pun secara yuridis telah membuat aturan-aturan mengenai korupsi,
sebagai upaya awal muncul PeraturanPenguasa Militer-Amgkatan Darat dan Laut RI-
Nomor PRT/PM/06/1957 karena KUHP dianggap tidak mampu menanggulangi meluasnya
korupsi pada masa itu yang juga telah dianggap sebagai penyakit masyarakat yang
menggerogoti kesejahteraan rakyat menghambat pelaksanaan pembangunan, merugikan
perekonomian, dan mengabaikan moral. Setelah itu muncul Undang-undang Nomor 3
tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang justru sama sekali
tidak menghambat penularan penyakit masyarakat tersebut, bahkan semakin
mengembang dan menyebar luas dan parah.
Banyak
seminar, lokakarya, diskusi panel, symposium, sarasehan dan berbagai jenis dan
format pertemuan baik formal maupun informal, digelar untuk membincangkan soal
korupsi dengan melibatkan banyak pakar yang bersilang-silang pendapat kemudian
bersepakat, namun kemauan politiklah yang nyatanya tak kunjung datang.
Peraturan
tentang tindak pidana korupsi memang sudah banyak dibuat, akan tetapi pada
kenyataannya pemerintah dan penegak hukum seperti tidak punya kekuatan untuk
memberantas korupsi. Seperti halnya para dokter di seluruh dunia yang terus
berusaha untuk mencari obat kanker, usaha untuk memberantas korupsi yang
merupakan penyakit masyarakat pun juga harus senentiasa dilakukan. Usaha harus
diteruskan dan didukung oleh pemerintah dan masyarakat sampai akhirnya kita berhasil.
Undang-undang
dan peraturan lain untuk melawan korupsi sudah lengkap, sekarang yang
terpenting adalah aparat negara yang benar-benar bersih dan berwibawa untuk
menggunakan hukum untuk memberantas korupsi. Berkaca dari China yang mampu
memberantas korupsi di negaranya, maka Indonesia tentu juga bisa untuk
memberantas korupsi. Jika kita terus berusaha dan benar-benar menegakkan hukum
yang berat dan tegas bagi para pelaku tindak pidana korupsi, maka hukuman yang
diberikan itu akan mampu memberikan efek jera bagi para terpidana tindak
kejahatan korupsi. Namun sebelum melakukan hal itu, kita perlu terlebih dahulu
mengaetahui tentang korupsi, penyebab dan akibatnya, dan parahnya budaya
korupsi di negeri ini, barulah setelah itu kita bisa menentukan hukuman yang
paling efektif untuk memberikan efek jera bagi para terpidana kasus korupsi. Dan
jika hukuman yang ditegakkan telah mampu memberikan efek jera, maka negeri ini
kelak akan terbebas dari penyakit masyarakat yang bernama korupsi.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian korupsi, Korupsi saat ini sudah menjadi masalah global dan
digolongkan sebagai kejahatan transnasional dan extra ordinary crime sehingga pemerintah harus menanggulanginya
secara serius dengan mengagendakannya sebagai bagian dari program pemulihan
kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka menumbuhkan
perekonomian di Indonesia. Transparency
International mendefinisikan korupsi sebagai: “menyalahgunakan kekuasaan
dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi”. (sumber: Korupsi dalam Praktik Bisnis).
Dalam
definisi di atas, terdapat tiga unsur dari pengertian korupsi, yaitu: 1)
Menyalahgunakan kekuasaan; 2)Kekuasaan yang dipercayakan (baik di sektor publik
maupun swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi; 3)Keuntungan pribadi,
tidak hanya untuk orang yang bersangkutan tetapi juga anggota keluarga dan
teman-temannya.
Istilah
korupsi berasal dari bahasa Latin “coruptio” atau “corruptus” yang berarti
kerusakan atau kebobrokan. Sedangkan menurut J.S Nye, korupsi adalah perilaku
yang menyimpang atau melanggar peraturan kewajiban-kewajiban normal peran
instansi pemerintah dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh, status, dan
gengsi untuk kepentingan pribadi. Kemudian menurut Pasal 1 UU No. 24 Prp. Tahun
1960, “Yang dimaksud tindak pidana korupsi adalah : a) Tindakan seseorang yang
dengan sengaja atau karena melakukan kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan
keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah
atau badan hukum lain yang menggunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari
negara atau masyarakat; b) Perbuatan seseorang, yang dengan sengaja atau karena
melakukan suatu keajahatan atau dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau
kedudukan”. (Sumber: Korupsi dalam Praktik Bisnis).
Definisi
tentang korupsi memang cukup banyak, namun ada sebuah definisi yang banyak
dikutip, yaitu : “korupsi adalah tingkah laku menyimpang dari tugas-tugas resmi
sebuah jabatan negara karena karena keuntungan status atau uang yang menyangkut
pribadi, atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku
pribadi”. (Sumber : Memberantas Korupsi).
Sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi itu lazimnya merugikan, pengaruh buruk
korupsi jelas sangat besar khususnya adalah dalam perekonomian negara di mana
korupsi sangat menghambat pembangunan dan dampaknya tentu adalah merugikan
seluruh lapisan masyarakat.
2.
Penyebab korupsi, kemiskinan kata sebagian orang adalah akar dari masalah
korupsi. Tanpa kemiskinan tidak akan ada masalah korupsi. Tetapi kalaupun
menyebabkan korupsi, kemiskinan itu bukanlah satu-satunya penyebab korupsi,
karena justru kenyataannya banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh orang-orang
yang sebenarnya sudah kaya sebelum melakukan korupsi. Perkara
korupsi yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif,
yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya kurang berfungsinya
Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan
sosial masyarakat. (Sumber : Dwi Haryadi, S.H.,M.H. www.ubb.ac.id.
2011) Kasus korupsi yang diduga
melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati,
mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang
diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan
tertib sosial, ternyata justru mereka harus menjadi tahanan atau tersangka
dengan tuntutan tindak pidana korupsi, itu membuktikan bahwa korupsi adalah
karena ketidaktertiban sosial. Korupsi memang sudah menjadi sebuah kebudayaan.
Salah satu jawaban untuk menjawab pandangan bahwa korupsi adalah bagian dari kebudayaan adalah,
“Para pejabat publik yang menjadi kaya raya dengan mendadak bukanlah ahli waris
dari tradisi menyimpan uang di bank dan tanggung jawab sosial, mereka adalah
orang kaya baru dalam administrasi pemerintahan, yaitu orang-orang yang
kebetulan berada di tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat”. (Sumber : Strategi Memberantas Korupsi). Intinya
adalah bagaimana bila suatu saat seseorang bisa menduduki jabatan stategis dan
basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi yang
intinya adalah masalah kesempatan saja karena memang korupsi sudah menjadi
sebuah kebudayaan.
3. Akibat dari tindak pidana korupsi, berikut adalah biaya-biaya
korupsi, 1) Efisiensi, yaitu pemborosan sumber-sumber, menciptakan
keburukan-keburukan umum, dan mengacaukan kebijakan; 2) Distribusi,
mengalokasikan kembali sumber-sumber kepada kaum kaya dan penguasa, kepada
militer atau polisi, atau orang-orang yang mempunyai kekuasaan monopoli; 3)
Insentif-insentif, mengacaukan tenaga pegawai dan warga negara ke arah usaha
mencari upah korupsi yang secara sosial tidak produktif, menciptakan resiko,
mendorong langkah-langkah pencegahan yang tidak produktif, sehingga investasi
menjauhi wilayah-wilayah yang memiliki korupsi tinggi; 4) Politik, menimbulkan
alienasi dan sinisme masyarakat, dan menciptakan ketidakstabilan pemerintah.
(Sumber : Membasmi Korupsi). Dari hal
tersebut sangat jelas bahwa korupsi sangat merugikan pembangunan ekonomi,
politik, dan organisasi.
4. Parahnya budaya korupsi di Indonesia, Direktur
Utama Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Cahya Harefa
menyatakan jika korupsi di Indonesia sudah memasuki kejahatan luar biasa dan
membutuhkan penanganan yang serius."Korupsi di Indonesia sangat parah,
sudah menjadi kejahatan luar biasa. Korupsi juga telah merambah dari tingkat
kebijakan dan ruang lingkupnya juga makin luas," ujarnya dalam acara
pencanangan pembangunan zona integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) di
Makassar. Ia mengatakan, korupsi yang terjadi di Indonesia sudah merambah pada
semua sektor mulai dari bidang pendidikan, kehutanan hingga tataran ketahanan
pangan. Dampak dari korupsi itu bisa dirasakan dalam jangka pendek dan jangka
panjang. "Korupsi ini harusnya menjadi musuh dari setiap orang karena
dampaknya dirasakan mulai dari jangka pendek hingga jangka panjang dan tidak
tanggung-tanggung hampir di semua sektor terjadi kejahatan, mulai dari
pendidikan, kehutanan hingga ketahanan pangan," katanya. Cahya mengatakan,
korupsi yang mengakibatkan kerugian negara tidak pernah dibenarkan dalam bentuk
apapun. Untuk mencapai hasil yang baik, dibutuhkan proses yang baik. Maka dari
itu, Pemprov Sulsel bisa menjadi proyek percontohan bagi KPK dalam hal
pencegahan korupsi. (Sumber : Djibril Muhammad. www.republika.co.id.
2013)
Hal tersebut memang benar adanya, bahwa kasus korupsi di negeri
ini sudah sangat menjamur di semua sektor publik. Sangat banyak kasus korupsi
dan ternyata kasus tersebut dilakukakan oleh orang-orang dari berbagai sektor
publik yang berbeda. Banyak sekali contoh kasus korupsi yang diberitakan di
media-media yang ada, sebut saja kasus korupsi dari lingkup kementrian yang
sampai saat ini kasusnya masih dalam proses seperti mantan Menegpora Andi
Alfian Malarangeng yang terbukti melakukan kasus korupsi proyek pengadaan alat
olahraga dan megaproyek hambalang. Kemudian ada kasus korupsi dari kalangan
anggota DPR dan pimpinan daerah, seperti kasus korupsi yang dilakukan oleh
Angelina Sondakh yang merupakan anggota DPR RI dan Ratu Atut yang berstatus
sebagai seorang gubernur. Bahkan yang paling mengejutkan tentu adalah kasus
korupsi yang dilakukan oleh seorang yang berasal dari lembaga penegak hukum di
Indonesia, yaitu ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, dan masih sangat
banyak kasus lainnya. Melihat fakta-fakta tersebut, betapa kita tidak miris,
bahwa para wakil rakyat kita bukannya menjalankan tugasnya ternyata justru
berlomba-lomba untuk meraup kekayaan dengan jalan korupsi.Sehingga memang
korupsi Indonesia sudah sangat parah dan bisa dikatakan telah menjadi budaya.
5. Pemberantasan korupsi, bagaimana melakukannya? Setiap situasi
membutuhkan panduan kebijakan yang berbeda. Sering para pembuat kebijakan
bertindak di banyak front sekaligus. Berikut adalah lima kategori kebijakan
anti korupsi, yaitu memilih pegawai, mengubah imbalan dan hukuman, mengubah
struktur hubungan atasan-pegawai-klien, mengubah sikap terhadap korupsi, dan
mengumpulkan serta menganalisis informasi. (Sumber : Membasmi Korupsi).
Salah satu cara untuk memberantas korupsi tentu adalah dengan
memberikan hukuman, dalam kasus di Filipina hukuman untuk terpidana kasus
korupsi diubah menjadi lebih berat dan tegas seperti pemecatan dan publisitas
tentang tindakan korupsi dan pelakunya. Begitu juga dengan di Singapura dan
China dimana hukuman bagi terpidana korupsi sangatlah berat, bahkan di China
hukuman bagi terpidana kasus korupsi adalah hukuman mati. Lalu bagaimanakah
dengan di Indonesia? Tentu kita juga harus mengubah hukuman korupsi yang selama
ini diterapkan menjadi lebih berat lagi karena kenyataannya hukuman yang saat
ini berlaku masih belum efektif untuk memberantas korupsi.
Ada banyak alternatif
hukuman yang akan memberikan efek jera jika diberikan untuk para koruptor, 1)
Mempermalukan para koruptor, hal tersebut seperti halnya yang disampaikan oleh
mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud M.D, beliau mengusulkan dibuat sebuah
kebun bagi koruptor, sebagaimana dengan kebun untuk binatang. “Saya usul agar
koruptor jangan dibikin takut, tapi dipermalukan, misalnya dibuat kebun bagi
koruptor” (Sumber : Ari.
beritaliputan6.com. 2012)
Menurutnya pelaku korupsi
tak ubahnya seperti hewan. Dengan adanya kebun bagi koruptor itu, kata Mahfud,
maka sebaiknya dipertontonkan kepada publik. “Lebih baik daripada murid-murid
disuruh melihat binatang setiap semester, setiap liburan. Toh sama-sama
binatang juga. Orang yang melakukan korupsi, sebenarnya hatinya binatang. Di
situ (kebun koruptor) ditunjukkan, ini loh tampang koruptor, yang dihukum 20
tahun, sekian tahun, tampilkan foto-foto korbannya,” kata Mahfud. Intinya
adalah bahwa para koruptor harus dibuat malu supaya orang berpikir dua kali
jika ingin melakukan korupsi karena akan dipermalukan di depan publik
selamanya. Hal tersebutlah yang dilakukan oleh Filipina hingga cukup signifikan
hasilnya dalam memberantas korupsi di negara tersebut. 2) Pemiskinan bagi para
koruptor, pemiskinan atau
pengambilan aset dan harta hasil korupsi sebagai sanksi yang lebih efektif dan
dapat memberi efek jera bagi para koruptor dibandingkan dengan hukuman penjara,
kata Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan. (Sumber :
Yuni Arisandi. antaranews.com. 2013)
Para koruptor itu
lebih takut miskin daripada takut dipenjara. Jadi, cara yang ampuh untuk
membuat orang jera melakukan korupsi adalah dengan memiskinkan koruptor. Sudah
ada beberapa peraturan yang dapat digunakan untuk mengatur upaya pemiskinan
koruptor, yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Undang-Undang
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dan sekarang ini yang terbaru adalah sedang dikembangkan UU tentang
perampasan harta hasil korupsi dari koruptor dan keluarganya.
Pengambilan aset atau
harta kekayaan koruptor sebetulnya dapat dilakukan dengan mudah bila aparat
sudah membuktikan aset itu merupakan hasil tindak pidana korupsi. Jadi,
bila aparat penegak hukum sudah bisa membuktikan dan menunjukkan bahwa harta
yang diperoleh merupakan hasil korupsi, maka aset si koruptor itu sudah pasti
bisa disita oleh negara tentunya.
Lalu menurut Ade, juga
upaya penyitaan harta kekayaan seorang koruptor pun dapat dilakukan dengan
pembuktian terbalik, di mana si pelaku tindak korupsi harus membuktikan bahwa
sejumlah harta kekayaan yang dimilikinya bukanlah hasil korupsi. (Sumber : Yuni
Arisandi. antaranews.com. 2013).
Maksudnya adalah, misal kalau seorang koruptor tidak bisa membuktikan bahwa
sejumlah dana yang ada di rekeningnya itu diperoleh dari hasil usahanya yang
halal, maka itu seharusnya bisa disita oleh aparat penegak hukum di negeri ini.
Pembuktian itu diperoleh
dengan memastikan sumber yang sebenarnya dari dana dan aset yang dimiliki
koruptor, dan si koruptor lah yang harus membuktikan bahwa sumber dana dan aset
itu bukan dari hasil korupsi. Jadi kalau itu terbukti dari hasil usahanya maka tidak disita.
Kalau tidak bisa dibuktikan itu hasil usaha dia, maka negara berhak menyita
uang atau aset itu.
Dan dengan hukuman ini
tentu tidak ada unsur pelanggaran hak asasi dalam proses pemiskinan koruptor
dan keluarganya karena yang diambil alih memang harta kekayaan hasil tindak
kejahatan. Hal tersebut sependapat dengan wakil
koordinator ICW, Ade mengatakan "Prinsipnya
pengambilan kembali harta hasil korupsi oleh negara bukanlah suatu tindakan
yang melanggar hak asasi. Karena, bila hal itu tidak dilakukan justru akan melanggar
hak asasi orang banyak" (Sumber : Yuni Arisandi. antaranews.com. 2013); 3) Pemberian hukuman mati, apabila segala
macam hukuman gagal untuk memberikan efek jera bagi para koruptor maka pilihan
terakhir adalah pemberian hukuman mati yang sudah diterapkan di China dan
Latvia. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar juga telah
menyetujui penerapan hukuman mati bagi terpidana korupsi dan penyuapan.
(Indonesian Corruption Watch. kompas.com.
2011)
UU No 31/1999, yang diperbarui dengan UU Nomor
20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur hukuman
mati dapat dijatuhkan antara lain pada pelaku korupsi saat negara sedang
dilanda krisis, saat bencana alam, atau dalam keadaan tertentu. Yang kini belum
ada adalah keberanian majelis hakim untuk menerapkan hukuman mati.
Perlunya sanksi yang keras pada pelaku korupsi
harus ditegakkan karena meski sudah banyak pejabat dihukum terkait kasus
korupsi, sanksi tidak membuat pejabat atau orang lain jera untuk korupsi.
Korupsi kini dinilai sebagai budaya. Untuk mengikis korupsi dan penyuapan,
pemerintah sebenarnya menerapkan aturan yang keras agar membuat jera pelakunya,
namun jika ternyata para pelaku korupsi belum jera tentu aturan harus dibuat
lebih keras lagi.
Patrialis mengatakan, selain hukuman berat,
kesejahteraan pegawai juga harus lebih baik dan memadai lagi. ”Kalau ada orang
yang seperti Gayus Tambunan lagi, tentu harus dihajar dengan hukuman yang lebih
berat dan keras lagi”. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengakui,
korupsi di negeri ini sudah parah dan merajalela. Karena itu, Indonesia perlu
belajar dari Latvia dan China yang berani melakukan perombakan besar untuk
menumpas korupsi di negaranya. (Sumber : ABK. kompas.com. 2011)
Sebelum tahun 1998, Latvia adalah negara yang
korup. Untuk memberantas korupsi yang parah, negara itu menerapkan UU lustrasi
nasional atau UU pemotongan generasi. Melalui UU itu, semua pejabat eselon II
diberhentikan dan semua pejabat dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998
dilarang aktif kembali. Sekarang, negara ini menjadi negara yang benar-benar
bersih dari korupsi. Di China dilakukan pemutihan semua koruptor yang melakukan
korupsi sebelum tahun 1998. Semua pejabat yang korupsi dianggap bersih, tetapi
begitu ada korupsi sehari sesudah pemutihan, pejabat itu langsung dijatuhi
hukuman mati. ”Hingga Oktober 2007, sebanyak 4.800 pejabat di China dijatuhi
hukuman mati, dan sekarang China menjadi negara bersih. (Sumber : Indonesia
Corruption Watch. kompas.com. 2011)
Indonesia seharusnya berkaca dari dua negara
ini, korupsi di Indonesia sedemikian merajalela dan menjadi penyakit kronis, bahkan
negara ini sudah rusak. Korupsi terjadi di mana-mana, mulai wakil rakyat, polisi,
jaksa, hakim, bahkan hingga di organisasi olahraga.
Sistem pemberantasan korupsi di Indonesia sudah
bagus. Namun, mentalitas dan moralitas masyarakat Indonesia telah rusak. Praktik
korupsi saat ini melebar dan masuk wilayah fundamental. Oleh karena itu, institusi
penegak hukum harus bekerja untuk mengurai penyimpangan hingga tuntas. Para
penegak hukum harus tegas dan berani menjalankan prosedur yang ada, jangan
sampai aturan-aturan tentang korupsi hanya sekedar menjadi rencana, lalu dibuat
tetapi tidak dijalankan. Jadi dengan pemberian hukuman yang berat yang mampu
memberikan efek jera bagi para koruptor dan diikuti dengan keberanian dan
ketegasan para penegak hukum di negeri ini, maka Indonesia pun juga akan bisa
menjadi negara seperti China yang berhasil memberantas korupsi de negerinya.
C. Kesimpulan
Tindak pidana korupsi di Indonesia sendiri kini
sudah sangat parah dan telah menjamur di semua sektor publik. Bahkan korupsi di
Indonesia telah menjadi sebuah budaya dimana setiap ada kesempatan maka
kemungkinan besar orang akan melakukan tindakan korupsi tersebut. Dengan
parahnya korupsi di Indonesia maka pemberantasan harus dilakukan terus sampai
tuntas, dan salah satu caranya adalah dengan memberikan hukuman berat bagi para
pelaku korupsi, hal tersebut diharapkan agar memberi efek jera. Namun proses
penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi memang menjadi kendala
pemberantasan korupsi itu sendiri. Berbagai prosedur yang ada telah disimpangi
oleh para pelaku yang seharusnya melaksanakan prosedur tersebut. Pengalaman
penyidikan selama ini menunjukkan bahwa perilaku korupsi justru ditutup-tutupi
oleh komunitas lingkungan tempat kejadian karena mungkin hal itu dianggap
sebagai aib di lingkungan instansinya. Selain itu juga ketidaktegasan para
penegak hukum juga membuat pemberantasan korupsi menjadi terhambat. Sehingga
para penegak hukum seharusnya adalah orang-orang yang mempunyai ketegasan dan
keberanian untuk memberikan hukuman berat bagi para pelaku korupsi, sehingga
pada akhirnya para koruptor akan jera dan negara ini bisa menjadi negara yang
benar-benar bersih dari korupsi sehingga pembagunan perekonomian dapat
dijalankan dengan baik dan rakyat bisa mendapatkan kesejahteraan.
D. Daftar Pustaka
Ari.
Mahfud Mengusulkan tentang Pembuatan
Kebun Koruptor. [online].
Tersedia: www.berita.liputan6.com/read/364850/mahfud-mengusulkan-pembuatan-kebun
koruptor. Diakses pada 11 Desember 2013
Arisandy, Yuni. ICW: Pengambilan
Aset Sanksi Efektif Bagi Koruptor. [online].
Tersedia:
www.antaranews.com/pengambilan-aset-sanksi-efektif-bagi-koruptor.
Diakses pada 11 Desember 2013.
Indonesia Corruption Watch. Hukuman
Mati Bagi Koruptor. [online]. Tersedia:
www.kompas.com/hukuman-mati-bagi-koruptor.
Diakses pada 11 Desember 2013.
Klitgard, Robert. 2005. Membasmi
Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nurdjana, IGM. 2005. Korupsi
Dalam Praktik Bisnis. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Pope, Jeremy. 2007. Strategi
Memberantas Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Muhammad,
Djibril. Korupsi di Indonesia Sangat
Parah. [online]. Tersedia:
www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/04/11/ml25xi-korupsi-di-indonesia-sangat-parah.
Diakses pada 11 Desember 201.