Monday, 23 February 2015

Korupsi_Sosio Antro Pendidikan

Pemberian Hukuman sebagai Efek Jera dalam Upaya Memberantas Korupsi di Indonesia
Mata Kuliah : Sosio-antro Pendidikan

Nama: Bayu Sukarno Putro
NIM: 12601241019
Prodi/ Kelas: PJKR/ A_2012
E-mail: bayu_anis@yahoo.co.id
Telp: 085229184646

Abstrak
Korupsi, sebuah penyakit masyarakat yang kini telah menyebarluas bahkan telah menjadi budaya. Sebagai sebuah budaya, korupsi ini adalah sebuah budaya yang sangat buruk dan hanya memberikan dampak negatif saja bagi orang banyak, terlebih bagi rakyat. Korupsi hanya memberi keuntungan pribadi bagi pihak yang melakukannya saja berupa materi, dan hanya memberikan kerugian banyak bagi negara dan juga rakyat. Intinya bahwa korupsi adalah tindakan menyimpang dengan cara menyalahgunakan kekuasaan. Di negeri ini, korupsi sudah sangat parah, hampir semua sektor publik terdapat kasus korupsi yang berpotensi menghancurkan perekonomian negara ini.
Korupsi adalah sebuah kejahatan yang harus segera diberantas agar tidak semakin merajalela dan menghancurkan negeri ini. Dengan diberantasnya korupsi maka pembangunan di negeri ini akan lebih lancar. Pemberantasan korupsi harus dilakukan sampai tuntas dan salah satunya adalah dengan menegakkan hukum, memberikan hukuman yang seberat-beratnya bagi para pelakunya sehingga akan menimbulakan efek jera sehingga negara ini benar-benar bersih dari kasus korupsi.
Kata kunci :berantas, hukuman, kasus, korupsi.

A.    Pendahuluan
“Hal yang paling merisaukan saya lebih dari apapun juga adalah soal kemerosotan akhlak di negeri kami. Ada masalah suap, korupsi, kurangnya ketaatan akan tugas, ketidakjujuran, dan segala cacat semacam itu” kata presiden Nigeria Shehu Shagari pada tahun 1982. Hal yang sama juga dikatakan oleh seorang dosen universitas di Yogyakarta pada dalam sebuah seminar, bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Kedua pernyataan tersebut memang benar adanya dan dan terbukti, kini di Indonesia label korupsi tidak semata-mata diperuntukkan bagi para pejabat pemerintahan di negeri ini. Namun juga sudah menjamur di lingkup TNI, Polri, pegawai negri, konglomerat, bahkan organisasi olahraga dan banyak masih banyak lagi. Itulah sebabnya muncul paham bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya, seakan-akan korupsi itu adalah hal yang biasa karena nyaris terjadi di semua sektor dan lapisan masyarakat.
Korupsi adalah penyakit yang terus berjangkit dan tentunya harus segera ditangkal. Pemerintah pun secara yuridis telah membuat aturan-aturan mengenai korupsi, sebagai upaya awal muncul PeraturanPenguasa Militer-Amgkatan Darat dan Laut RI- Nomor PRT/PM/06/1957 karena KUHP dianggap tidak mampu menanggulangi meluasnya korupsi pada masa itu yang juga telah dianggap sebagai penyakit masyarakat yang menggerogoti kesejahteraan rakyat menghambat pelaksanaan pembangunan, merugikan perekonomian, dan mengabaikan moral. Setelah itu muncul Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang justru sama sekali tidak menghambat penularan penyakit masyarakat tersebut, bahkan semakin mengembang dan menyebar luas dan parah.
Banyak seminar, lokakarya, diskusi panel, symposium, sarasehan dan berbagai jenis dan format pertemuan baik formal maupun informal, digelar untuk membincangkan soal korupsi dengan melibatkan banyak pakar yang bersilang-silang pendapat kemudian bersepakat, namun kemauan politiklah yang nyatanya tak kunjung datang.
Peraturan tentang tindak pidana korupsi memang sudah banyak dibuat, akan tetapi pada kenyataannya pemerintah dan penegak hukum seperti tidak punya kekuatan untuk memberantas korupsi. Seperti halnya para dokter di seluruh dunia yang terus berusaha untuk mencari obat kanker, usaha untuk memberantas korupsi yang merupakan penyakit masyarakat pun juga harus senentiasa dilakukan. Usaha harus diteruskan dan didukung oleh pemerintah dan masyarakat sampai akhirnya kita berhasil.
Undang-undang dan peraturan lain untuk melawan korupsi sudah lengkap, sekarang yang terpenting adalah aparat negara yang benar-benar bersih dan berwibawa untuk menggunakan hukum untuk memberantas korupsi. Berkaca dari China yang mampu memberantas korupsi di negaranya, maka Indonesia tentu juga bisa untuk memberantas korupsi. Jika kita terus berusaha dan benar-benar menegakkan hukum yang berat dan tegas bagi para pelaku tindak pidana korupsi, maka hukuman yang diberikan itu akan mampu memberikan efek jera bagi para terpidana tindak kejahatan korupsi. Namun sebelum melakukan hal itu, kita perlu terlebih dahulu mengaetahui tentang korupsi, penyebab dan akibatnya, dan parahnya budaya korupsi di negeri ini, barulah setelah itu kita bisa menentukan hukuman yang paling efektif untuk memberikan efek jera bagi para terpidana kasus korupsi. Dan jika hukuman yang ditegakkan telah mampu memberikan efek jera, maka negeri ini kelak akan terbebas dari penyakit masyarakat yang bernama korupsi.

B.     Pembahasan
1. Pengertian korupsi, Korupsi saat ini sudah menjadi masalah global dan digolongkan sebagai kejahatan transnasional dan extra ordinary crime sehingga pemerintah harus menanggulanginya secara serius dengan mengagendakannya sebagai bagian dari program pemulihan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka menumbuhkan perekonomian di Indonesia. Transparency International mendefinisikan korupsi sebagai: “menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi”. (sumber: Korupsi dalam Praktik Bisnis).
Dalam definisi di atas, terdapat tiga unsur dari pengertian korupsi, yaitu: 1) Menyalahgunakan kekuasaan; 2)Kekuasaan yang dipercayakan (baik di sektor publik maupun swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi; 3)Keuntungan pribadi, tidak hanya untuk orang yang bersangkutan tetapi juga anggota keluarga dan teman-temannya.
Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin “coruptio” atau “corruptus” yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Sedangkan menurut J.S Nye, korupsi adalah perilaku yang menyimpang atau melanggar peraturan kewajiban-kewajiban normal peran instansi pemerintah dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh, status, dan gengsi untuk kepentingan pribadi. Kemudian menurut Pasal 1 UU No. 24 Prp. Tahun 1960, “Yang dimaksud tindak pidana korupsi adalah : a) Tindakan seseorang yang dengan sengaja atau karena melakukan kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang menggunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat; b) Perbuatan seseorang, yang dengan sengaja atau karena melakukan suatu keajahatan atau dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan”. (Sumber:  Korupsi dalam Praktik Bisnis).
Definisi tentang korupsi memang cukup banyak, namun ada sebuah definisi yang banyak dikutip, yaitu : “korupsi adalah tingkah laku menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi, atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi”. (Sumber : Memberantas Korupsi). Sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi itu lazimnya merugikan, pengaruh buruk korupsi jelas sangat besar khususnya adalah dalam perekonomian negara di mana korupsi sangat menghambat pembangunan dan dampaknya tentu adalah merugikan seluruh lapisan masyarakat.
2. Penyebab korupsi, kemiskinan kata sebagian orang adalah akar dari masalah korupsi. Tanpa kemiskinan tidak akan ada masalah korupsi. Tetapi kalaupun menyebabkan korupsi, kemiskinan itu bukanlah satu-satunya penyebab korupsi, karena justru kenyataannya banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang sebenarnya sudah kaya sebelum melakukan korupsi. Perkara korupsi yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya kurang berfungsinya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. (Sumber : Dwi Haryadi, S.H.,M.H. www.ubb.ac.id. 2011) Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka harus menjadi tahanan atau tersangka dengan tuntutan tindak pidana korupsi, itu membuktikan bahwa korupsi adalah karena ketidaktertiban sosial. Korupsi memang sudah menjadi sebuah kebudayaan. Salah satu jawaban untuk menjawab pandangan bahwa  korupsi adalah bagian dari kebudayaan adalah, “Para pejabat publik yang menjadi kaya raya dengan mendadak bukanlah ahli waris dari tradisi menyimpan uang di bank dan tanggung jawab sosial, mereka adalah orang kaya baru dalam administrasi pemerintahan, yaitu orang-orang yang kebetulan berada di tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat”. (Sumber : Strategi Memberantas Korupsi). Intinya adalah bagaimana bila suatu saat seseorang bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi yang intinya adalah masalah kesempatan saja karena memang korupsi sudah menjadi sebuah kebudayaan.
3. Akibat dari tindak pidana korupsi, berikut adalah biaya-biaya korupsi, 1) Efisiensi, yaitu pemborosan sumber-sumber, menciptakan keburukan-keburukan umum, dan mengacaukan kebijakan; 2) Distribusi, mengalokasikan kembali sumber-sumber kepada kaum kaya dan penguasa, kepada militer atau polisi, atau orang-orang yang mempunyai kekuasaan monopoli; 3) Insentif-insentif, mengacaukan tenaga pegawai dan warga negara ke arah usaha mencari upah korupsi yang secara sosial tidak produktif, menciptakan resiko, mendorong langkah-langkah pencegahan yang tidak produktif, sehingga investasi menjauhi wilayah-wilayah yang memiliki korupsi tinggi; 4) Politik, menimbulkan alienasi dan sinisme masyarakat, dan menciptakan ketidakstabilan pemerintah. (Sumber : Membasmi Korupsi). Dari hal tersebut sangat jelas bahwa korupsi sangat merugikan pembangunan ekonomi, politik, dan organisasi.
4. Parahnya budaya korupsi di Indonesia, Direktur Utama Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Cahya Harefa menyatakan jika korupsi di Indonesia sudah memasuki kejahatan luar biasa dan membutuhkan penanganan yang serius."Korupsi di Indonesia sangat parah, sudah menjadi kejahatan luar biasa. Korupsi juga telah merambah dari tingkat kebijakan dan ruang lingkupnya juga makin luas," ujarnya dalam acara pencanangan pembangunan zona integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) di Makassar. Ia mengatakan, korupsi yang terjadi di Indonesia sudah merambah pada semua sektor mulai dari bidang pendidikan, kehutanan hingga tataran ketahanan pangan. Dampak dari korupsi itu bisa dirasakan dalam jangka pendek dan jangka panjang. "Korupsi ini harusnya menjadi musuh dari setiap orang karena dampaknya dirasakan mulai dari jangka pendek hingga jangka panjang dan tidak tanggung-tanggung hampir di semua sektor terjadi kejahatan, mulai dari pendidikan, kehutanan hingga ketahanan pangan," katanya. Cahya mengatakan, korupsi yang mengakibatkan kerugian negara tidak pernah dibenarkan dalam bentuk apapun. Untuk mencapai hasil yang baik, dibutuhkan proses yang baik. Maka dari itu, Pemprov Sulsel bisa menjadi proyek percontohan bagi KPK dalam hal pencegahan korupsi. (Sumber : Djibril Muhammad. www.republika.co.id. 2013)
Hal tersebut memang benar adanya, bahwa kasus korupsi di negeri ini sudah sangat menjamur di semua sektor publik. Sangat banyak kasus korupsi dan ternyata kasus tersebut dilakukakan oleh orang-orang dari berbagai sektor publik yang berbeda. Banyak sekali contoh kasus korupsi yang diberitakan di media-media yang ada, sebut saja kasus korupsi dari lingkup kementrian yang sampai saat ini kasusnya masih dalam proses seperti mantan Menegpora Andi Alfian Malarangeng yang terbukti melakukan kasus korupsi proyek pengadaan alat olahraga dan megaproyek hambalang. Kemudian ada kasus korupsi dari kalangan anggota DPR dan pimpinan daerah, seperti kasus korupsi yang dilakukan oleh Angelina Sondakh yang merupakan anggota DPR RI dan Ratu Atut yang berstatus sebagai seorang gubernur. Bahkan yang paling mengejutkan tentu adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang yang berasal dari lembaga penegak hukum di Indonesia, yaitu ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, dan masih sangat banyak kasus lainnya. Melihat fakta-fakta tersebut, betapa kita tidak miris, bahwa para wakil rakyat kita bukannya menjalankan tugasnya ternyata justru berlomba-lomba untuk meraup kekayaan dengan jalan korupsi.Sehingga memang korupsi Indonesia sudah sangat parah dan bisa dikatakan telah menjadi budaya.
5. Pemberantasan korupsi, bagaimana melakukannya? Setiap situasi membutuhkan panduan kebijakan yang berbeda. Sering para pembuat kebijakan bertindak di banyak front sekaligus. Berikut adalah lima kategori kebijakan anti korupsi, yaitu memilih pegawai, mengubah imbalan dan hukuman, mengubah struktur hubungan atasan-pegawai-klien, mengubah sikap terhadap korupsi, dan mengumpulkan serta menganalisis informasi. (Sumber : Membasmi Korupsi).
Salah satu cara untuk memberantas korupsi tentu adalah dengan memberikan hukuman, dalam kasus di Filipina hukuman untuk terpidana kasus korupsi diubah menjadi lebih berat dan tegas seperti pemecatan dan publisitas tentang tindakan korupsi dan pelakunya. Begitu juga dengan di Singapura dan China dimana hukuman bagi terpidana korupsi sangatlah berat, bahkan di China hukuman bagi terpidana kasus korupsi adalah hukuman mati. Lalu bagaimanakah dengan di Indonesia? Tentu kita juga harus mengubah hukuman korupsi yang selama ini diterapkan menjadi lebih berat lagi karena kenyataannya hukuman yang saat ini berlaku masih belum efektif untuk memberantas korupsi.
Ada banyak alternatif hukuman yang akan memberikan efek jera jika diberikan untuk para koruptor, 1) Mempermalukan para koruptor, hal tersebut seperti halnya yang disampaikan oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud M.D, beliau mengusulkan dibuat sebuah kebun bagi koruptor, sebagaimana dengan kebun untuk binatang. “Saya usul agar koruptor jangan dibikin takut, tapi dipermalukan, misalnya dibuat kebun bagi koruptor” (Sumber : Ari. beritaliputan6.com. 2012)
Menurutnya pelaku korupsi tak ubahnya seperti hewan. Dengan adanya kebun bagi koruptor itu, kata Mahfud, maka sebaiknya dipertontonkan kepada publik. “Lebih baik daripada murid-murid disuruh melihat binatang setiap semester, setiap liburan. Toh sama-sama binatang juga. Orang yang melakukan korupsi, sebenarnya hatinya binatang. Di situ (kebun koruptor) ditunjukkan, ini loh tampang koruptor, yang dihukum 20 tahun, sekian tahun, tampilkan foto-foto korbannya,” kata Mahfud. Intinya adalah bahwa para koruptor harus dibuat malu supaya orang berpikir dua kali jika ingin melakukan korupsi karena akan dipermalukan di depan publik selamanya. Hal tersebutlah yang dilakukan oleh Filipina hingga cukup signifikan hasilnya dalam memberantas korupsi di negara tersebut. 2) Pemiskinan bagi para koruptor, pemiskinan atau pengambilan aset dan harta hasil korupsi sebagai sanksi yang lebih efektif dan dapat memberi efek jera bagi para koruptor dibandingkan dengan hukuman penjara, kata Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan. (Sumber : Yuni Arisandi. antaranews.com. 2013)
Para koruptor itu lebih takut miskin daripada takut dipenjara. Jadi, cara yang ampuh untuk membuat orang jera melakukan korupsi adalah dengan memiskinkan koruptor. Sudah ada beberapa peraturan yang dapat digunakan untuk mengatur upaya pemiskinan koruptor, yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dan sekarang ini yang terbaru adalah sedang dikembangkan UU tentang perampasan harta hasil korupsi dari koruptor dan keluarganya.
Pengambilan aset atau harta kekayaan koruptor sebetulnya dapat dilakukan dengan mudah bila aparat sudah membuktikan aset itu merupakan hasil tindak pidana korupsi.  Jadi, bila aparat penegak hukum sudah bisa membuktikan dan menunjukkan bahwa harta yang diperoleh merupakan hasil korupsi, maka aset si koruptor itu sudah pasti bisa disita oleh negara tentunya.
Lalu menurut Ade, juga upaya penyitaan harta kekayaan seorang koruptor pun dapat dilakukan dengan pembuktian terbalik, di mana si pelaku tindak korupsi harus membuktikan bahwa sejumlah harta kekayaan yang dimilikinya bukanlah hasil korupsi. (Sumber : Yuni Arisandi. antaranews.com. 2013). Maksudnya adalah, misal kalau seorang koruptor tidak bisa membuktikan bahwa sejumlah dana yang ada di rekeningnya itu diperoleh dari hasil usahanya yang halal, maka itu seharusnya bisa disita oleh aparat penegak hukum di negeri ini.
Pembuktian itu diperoleh dengan memastikan sumber yang sebenarnya dari dana dan aset yang dimiliki koruptor, dan si koruptor lah yang harus membuktikan bahwa sumber dana dan aset itu bukan dari hasil korupsi. Jadi kalau itu terbukti dari hasil usahanya maka tidak disita. Kalau tidak bisa dibuktikan itu hasil usaha dia, maka negara berhak menyita uang atau aset itu.
Dan dengan hukuman ini tentu tidak ada unsur pelanggaran hak asasi dalam proses pemiskinan koruptor dan keluarganya karena yang diambil alih memang harta kekayaan hasil tindak kejahatan. Hal tersebut sependapat dengan wakil koordinator ICW, Ade mengatakan "Prinsipnya pengambilan kembali harta hasil korupsi oleh negara bukanlah suatu tindakan yang melanggar hak asasi. Karena, bila hal itu tidak dilakukan justru akan melanggar hak asasi orang banyak" (Sumber : Yuni Arisandi. antaranews.com. 2013); 3) Pemberian hukuman mati, apabila segala macam hukuman gagal untuk memberikan efek jera bagi para koruptor maka pilihan terakhir adalah pemberian hukuman mati yang sudah diterapkan di China dan Latvia. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar juga telah menyetujui penerapan hukuman mati bagi terpidana korupsi dan penyuapan. (Indonesian Corruption Watch. kompas.com. 2011)
UU No 31/1999, yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur hukuman mati dapat dijatuhkan antara lain pada pelaku korupsi saat negara sedang dilanda krisis, saat bencana alam, atau dalam keadaan tertentu. Yang kini belum ada adalah keberanian majelis hakim untuk menerapkan hukuman mati.
Perlunya sanksi yang keras pada pelaku korupsi harus ditegakkan karena meski sudah banyak pejabat dihukum terkait kasus korupsi, sanksi tidak membuat pejabat atau orang lain jera untuk korupsi. Korupsi kini dinilai sebagai budaya. Untuk mengikis korupsi dan penyuapan, pemerintah sebenarnya menerapkan aturan yang keras agar membuat jera pelakunya, namun jika ternyata para pelaku korupsi belum jera tentu aturan harus dibuat lebih keras lagi.
Patrialis mengatakan, selain hukuman berat, kesejahteraan pegawai juga harus lebih baik dan memadai lagi. ”Kalau ada orang yang seperti Gayus Tambunan lagi, tentu harus dihajar dengan hukuman yang lebih berat dan keras lagi”. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengakui, korupsi di negeri ini sudah parah dan merajalela. Karena itu, Indonesia perlu belajar dari Latvia dan China yang berani melakukan perombakan besar untuk menumpas korupsi di negaranya. (Sumber : ABK. kompas.com. 2011)
Sebelum tahun 1998, Latvia adalah negara yang korup. Untuk memberantas korupsi yang parah, negara itu menerapkan UU lustrasi nasional atau UU pemotongan generasi. Melalui UU itu, semua pejabat eselon II diberhentikan dan semua pejabat dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998 dilarang aktif kembali. Sekarang, negara ini menjadi negara yang benar-benar bersih dari korupsi. Di China dilakukan pemutihan semua koruptor yang melakukan korupsi sebelum tahun 1998. Semua pejabat yang korupsi dianggap bersih, tetapi begitu ada korupsi sehari sesudah pemutihan, pejabat itu langsung dijatuhi hukuman mati. ”Hingga Oktober 2007, sebanyak 4.800 pejabat di China dijatuhi hukuman mati, dan sekarang China menjadi negara bersih. (Sumber : Indonesia Corruption Watch. kompas.com. 2011)
Indonesia seharusnya berkaca dari dua negara ini, korupsi di Indonesia sedemikian merajalela dan menjadi penyakit kronis, bahkan negara ini sudah rusak. Korupsi terjadi di mana-mana, mulai wakil rakyat, polisi, jaksa, hakim, bahkan hingga di organisasi olahraga.
Sistem pemberantasan korupsi di Indonesia sudah bagus. Namun, mentalitas dan moralitas masyarakat Indonesia telah rusak. Praktik korupsi saat ini melebar dan masuk wilayah fundamental. Oleh karena itu, institusi penegak hukum harus bekerja untuk mengurai penyimpangan hingga tuntas. Para penegak hukum harus tegas dan berani menjalankan prosedur yang ada, jangan sampai aturan-aturan tentang korupsi hanya sekedar menjadi rencana, lalu dibuat tetapi tidak dijalankan. Jadi dengan pemberian hukuman yang berat yang mampu memberikan efek jera bagi para koruptor dan diikuti dengan keberanian dan ketegasan para penegak hukum di negeri ini, maka Indonesia pun juga akan bisa menjadi negara seperti China yang berhasil memberantas korupsi de negerinya.

C.    Kesimpulan
Tindak pidana korupsi di Indonesia sendiri kini sudah sangat parah dan telah menjamur di semua sektor publik. Bahkan korupsi di Indonesia telah menjadi sebuah budaya dimana setiap ada kesempatan maka kemungkinan besar orang akan melakukan tindakan korupsi tersebut. Dengan parahnya korupsi di Indonesia maka pemberantasan harus dilakukan terus sampai tuntas, dan salah satu caranya adalah dengan memberikan hukuman berat bagi para pelaku korupsi, hal tersebut diharapkan agar memberi efek jera. Namun proses penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi memang menjadi kendala pemberantasan korupsi itu sendiri. Berbagai prosedur yang ada telah disimpangi oleh para pelaku yang seharusnya melaksanakan prosedur tersebut. Pengalaman penyidikan selama ini menunjukkan bahwa perilaku korupsi justru ditutup-tutupi oleh komunitas lingkungan tempat kejadian karena mungkin hal itu dianggap sebagai aib di lingkungan instansinya. Selain itu juga ketidaktegasan para penegak hukum juga membuat pemberantasan korupsi menjadi terhambat. Sehingga para penegak hukum seharusnya adalah orang-orang yang mempunyai ketegasan dan keberanian untuk memberikan hukuman berat bagi para pelaku korupsi, sehingga pada akhirnya para koruptor akan jera dan negara ini bisa menjadi negara yang benar-benar bersih dari korupsi sehingga pembagunan perekonomian dapat dijalankan dengan baik dan rakyat bisa mendapatkan kesejahteraan.

D.    Daftar Pustaka
Ari. Mahfud Mengusulkan tentang Pembuatan Kebun Koruptor. [online].
Arisandy, Yuni. ICW: Pengambilan Aset Sanksi Efektif Bagi Koruptor. [online].
Tersedia: www.antaranews.com/pengambilan-aset-sanksi-efektif-bagi-koruptor. Diakses pada 11 Desember 2013.
Indonesia Corruption Watch. Hukuman Mati Bagi Koruptor. [online]. Tersedia:
www.kompas.com/hukuman-mati-bagi-koruptor. Diakses pada 11 Desember 2013.
Klitgard, Robert. 2005. Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nurdjana, IGM. 2005. Korupsi Dalam Praktik Bisnis. Jakarta: PT Gramedia
            Pustaka Utama
Pope, Jeremy. 2007. Strategi Memberantas Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor
            Indonesia
Muhammad, Djibril. Korupsi di Indonesia Sangat Parah. [online]. Tersedia: